“Raja Berayun ialah seorang anak raja yang melarikan diri ke Selangor dari peperangan saudara di Sumatera. Di negeri Selangor beliau telah bersahabat baik dengan Sultan Abdul Samad. Raja Berayun kemudiannya telah membuka Kajang dan memerintah daerah Kajang dengan gelaran Tengku Panglima Besar.” (MAJLIS PERBANDARAN KAJANG (MPKj), 2006: |"SEJARAH KAJANG").
“Dalam bahasa Mandailing, 'Barayun' boleh bererti yang diayun dan dimanjakan. (Z. Pangaduan Lubis, temu bual, 2001). Lihat Pengantar Tarikh, 'Perang Kelang (Perang Selangor) 1867-1873'.” (Abdur-Razzaq Lubis, 2021: "Tarikh Raja Asal: Derap Perantauan Kaum Mandailing dari Sumatra ke Tanah Semenanjung", m.s.129).
Sejarah awal Raja Berayun (serta petempatan pertamanya, Rekoh) boleh dijejaki mulai dengan penghijrahan golongan Mandailing dari Sumatera pasca Perang Padri (1816-1833):-
“Sewaktu Perang Padri (1816-1833) berkecamuk di Sumatra, angkatan Minangkabau menyerbu Mandailing-Natal, kampung halaman bangsa Mandailing. Di mana-mana saja berlaku penjarahan dan kerusakan harta benda. Pihak kolonial Belanda melancarkan pula sistem eksploitasi ekonomi yang menyebabkan rakyat lebih melarat, sengsara dan miskin-papa.
Lantaran situasi yang tidak lagi dapat menjamin kelangsungan hidup, mereka terpaksa pindah secara besar-besaran ke Malaysia Barat kini atau Selangor khususnya yang disebut mereka sebagai “Kolang”. Perpindahan massal mereka itu dalam abad 19 merupakan pola migrasi yang mendekati proporsi exodus.
Orang Mandailing yang sampai di Selangor (Kolang) mendirikan pemukiman , “mamungka huta”, mengikut istilah mereka di pedalaman negeri Selangor. Bahagian pesisirnya, yang telah didiami oleh etnik Nusantara yang lain, sedapat-dapatnya dihindari. Perbukitan dan lembah yang menghijau, cuaca yang sejuk menyegarkan seperti di Luat Mandailing, keadaaan yang aman di pedalaman merupakan salah satu faktor yang menarik mereka tinggal di tempat yang jauh dari pesisir. Salah satu pemukiman keturunan suku Mandailing di pedalaman terdapat seputar Kajang. Pemukiman ini tekenal dengan nama Sg Kantan yang mungkin berupa kependekan Pakantan,suatu huta Mandailing hampir Kotanopan di Mandailing Julu dan yang warganya mayoritas Marga Lubis.”
(Sumber: Haji Hanafiah Kamal Bahrin Lubis, 23 Ogos 2014: |"HORAS ! SEPUTAR DAN BERPUTAR-PUTAR DI JALAN RAJA ALANG,KAJANG,SEL.").
“The Padri raids and invasions into Rao, Mandailing and Angkola, Padang Lawas and the 'Bataklands' (circa 1816-1831), as well as Padri occupation (circa 1820-1835), resulted in the flight of political and economic refugees, as well as forced migration through slave trafficking. Notable events included the Padri destruction of Panyabungan in 1825, and the major Padri invasions which were carried northwards to the Toba lands in 1827 and 1829. Raja Barayun, who hailed from Pidoli Lombang near Panyabungan, could have migrated after 1825 following the devastation of his homeland.” (Abdur-Razzaq Lubis, 2018: "Sutan Puasa: Founder of Kuala Lumpur", m.s.125).
Peta sebahagian Sumatera (Riau dan sekitarnya) dan Tanah Melayu (termasuk Panyabungan, Angkola (sekitar tanah asal Raja Barayun, ditandakan dalam petak hijau), Mandailing-Natal, Padang Lawas, Rokan (Rambah-Tambusai), dll, sekitar 1900-an: “Antique map of the East Coast of Sumatra. Also depicting the Strait of Malacca. This map originates from ‘Atlas van Nederlandsch Oost- en West-Indië’ by I. Dornseiffen.” (Seyffardt’s Boekhandel, Amsterdam, 1904 @ Bartele Gallery: |"MAP OF THE EAST COAST OF SUMATRA – DORNSEIFFEN C.1900").
Pada tahun 1848, Raja Berayun dikatakan telah pun bermukim di Rekoh. Latar permukiman beliau di Rekoh berkait rapat dengan sejarah pembukaan Kajang:-
Rekod tahun 1848 ini berdasarkan tahun peristiwa Perang Rawa, yang melibatkan Raja Berayun. Ia berakhir dengan pengunduran ke Rekoh. Riwayat terperinci berkenaan peristiwa ini:-
“Dulu “Recko ” merupkan satu lagi pemukimannya Mandailing seputar Kajang (kini Reko) .Raja Borayun ,Pendiri Kajang,pada suatu waktu,pernah menjadikan “Recko”basis ataupun bentengnya di pinggir Batang/Sungai Langat.Di sini telah bermukim warga imigran Mandailing yang substansial sekitar pertengahan abad 19 dahulu.
…
Pada umumnya turunan Mandailing marga Nasution dan Lubis tinggal di seputar Bandar Kajang, di samping marga Harahap dan Siregar (*Serigar). Masyarakat Mandailing itu dipimpin oleh Raja Borayun putera Mangaraja Tinating ,marga Nasution ,asal Pidoli Lombang, Mandailing Julu. Salah seorang cucu-cicitnya, Raja Ayub putra Raja Harun putra Raja Hidayat putera Raja Borayun menetap di rumah pusaka yang dibina Raja Harun di Lot 6747, Batu 14, Jalan Cheras, 43000 Kajang. Pusara Encik Nyonya Cantik, isteri Raja Borayun,ompung godang Raja Ayub,terdapat di Perkuburan Islam, Batu 14, Kajang.
Seperti dicatat sebelumnya, Raja Borayun merupakan namora atau raja Mandailing yang menjadi pimpinan komunitas Mandailing di Kajang dalam abad 19. Beliau dianugerahi gelar Tengku Panglima Besar oleh Sultan Abdul Samad yang mulai bersemayam di atas takhta Selangor pada tahun 1857.Raja Mandailing ini, turunan Mangaraja Saoloon Pidoli Lombang , merupakan pemain yang cukup penting di atas panggung politik Negeri Selangor dalam abad 19.
Besar kemungkinan, Raja Borayun sudah menetap di Kolang/Selangor sebelum Sutan Puasa (Sutan Na Poso) sampai di Kolang dari Tobang, Mandailing Julu kira-kira dalam tahun 1830-an. Kemungkinan juga seorang tokoh Mandailing yang lain, Ja Marabun Rangkuti (Bendahara Raja gelar Melayunya) mendampinginya dalam perjalanan ke Kolang. Bendahara Raja ternyata pertama kali menetap di Selangor sewaktu Sultan Muhammad bersemayam (1826-1857) (A.R. Lubis)
Menjelang tahun 1848, Raja Borayun berhasil menjalin hubungan yang rapat dengan pembesar-pembesar Bugis yang berpengaruh di istana Selangor. Dalam pada itu beliau berhasil menggalang angkatan hulu-balangnya yang merupakan kesatuan kombatan yang kuat. Menyadari posisinya yang bertambah kuat itu, pada tahun 1848 Raja Borayun menyerang Sg. Ujong (Seremban) sebab Dato Klana Sendeng tidak membayar “duit nyawa” (blood money) sejumlah $400 atas terbunuhnya seorang anak buahnya. Tentu saja masuk akal serangan itu diatur dan dilancarkan dari “Recko”, pangkalan dan pemukiman Mandailing di Selatan Kajang yang tidak jauh dari Seremban.”
(Sumber: Haji Hanafiah Kamal Bahrin Lubis, 23 Ogos 2014: |"HORAS ! SEPUTAR DAN BERPUTAR-PUTAR DI JALAN RAJA ALANG,KAJANG,SEL.").
Peristiwa serangan Raja Brayun terhadap Datoh Klana Sendeng, menurut anak beliau, Raja Alang (melalui wawancara dan tulisan J.C. Pasqual): “At this time Raja Brayun, a Mendeleng from Sumatra, invaded Sungei Ujong and attacked Datoh Klana Sendeng, because a friend of Raja Brayun was murdered and Datoh Klana Sendeng refused to pay the blood money of $400 according to the 'adat' Malayu. On the side of Raja Brayun there was Panglima Garang and Panglima Si Gara, both 'invulnerable' and fierce warriors, besides 500 fighting men. But he was defeated although he had bribed one of Datoh Kalan Sendeng's men with $3,000 to burn the granaries and blow up a powder magazine. Raja Brayun then retired to Recko, a village on the Langat river a short distance upstream from Kajang, and invited Raja Abdulsamad to live with him. He built a stockade at Recko and had a large force of fighting men who lived by robbery and raiding Sakais to sell them into slavery.” (The Straits Times, 11 November 1934, Page 21: |"WHEN COCKFIGHTING WAS THE RAGE").
LATAR PERISTIWA: Perang Rawa 1848
Peristiwa ini adalah sebahagian daripada siri Perang Rawa 1848:-
“Thomas Braddell in his note on the history of Negeri Sembilan enclosed with SS Despatch to the CO dated 29th December 1874, reveals the involvement of the Rawa (Rao) and Mandailing in the Rawa War of 1848. The latter were in Sungai Ujong (Seremban today) following the wake of the Padri War (1816-1833).
” The Rawa disturbances in 1848 are of sufficient importance to justify a few words giving an account of another and a most serious misfortune to the Sungai Ujong mine.
“ The Rawa are an adventurous people with a strong turn for trade, living to the north east of the Pagarooyong (Menangkabowe) district, in the middle of Sumatra. They have long been in the habit of trading to the Peninsula, and have established Colonies in several places, the most important of which was at Pahang, where they almost monopolized the trade. The superiority of these people over the ordinary Malay give rise to jealousies which require them to be on their guard, and to combine for mutual protection, so that when any of the tribe are injured the rest are bound to assist in protecting them, a feature in their character which adds to the dislike of them entertained by the Malays; but being like the Chinese, good colonists, they are allowed to remain in the Malay countries.
” Causes of. - A number of the tribe had settled in Sungei Ujong, and were getting the chief portion of the local trade in their hands where three of them were put to death by the Klana for an alleged offence. The justice of the execution was denied by the trio, and they determined to exact vengeance. Assistance was sent for to Pahang, their head quarters, and open war was declared. This was said to have been the pretext for the war, but the truth probably was, that the many differences and jealousies between the two races had brought matters to such a state that it required very little to bring on a war.
“ Result of. - The Rawa proved their individual superiority over the Malays during the war. But being few in numbers and distant from their resources they were at last obliged to retire; and they have not since been allowed to return to the country. The Rawas who are now in Sungei Ujong are said to be Tamoosai Rawas, and do not mix with the others, Rawa Ulu (or up country Rawas); in fact the Tamoosais sided with the Klana.”
Here in this passage we have the first mention of the presence of the “Tamoosai” in the Peninsula in the second quarter of the 19th century. There were probably two groups of people from Rao - the Mandailings and the Rao. Rao is the frontier country between Minangkabau and Mandailing. The Rao or “orang Rawa” as they are known in the Peninsula and in East Sumatra. The “Tamoosai Rawas” were Rawa from Tambusai, while Rawa Ulu (or up country Rawas) were probably Mandailing, whose homeland was to the north of Rao. Of course, this does not discount the Tambusai's presence, a distinct group in themselves.
The Mandailing involvement in the “Sungei Ujong” affair was confirmed by J.C. Pasqual who wrote about the episode in 1930s based on an account from “Raja Allang ibni Raja Brayun, who was a Forest ranger of the Ulu Langat district in the late 'eighties (1880's)”. He implied that the Mandailings were not on the side of Dato' Klana but against him.
“ At this time Raja Brayun, a Mendeleng from Sumatra, invaded Sungei Ujong and attacked Datoh Klana Sendeng, because a friend of Raja Brayun was murdered and Datoh Klana Sendeng refused to pay the blood money of $400 according to 'adat' Malayu. On the side of Raja Brayun there was Panglima Garang and Panglima Si Gara, both 'invulnerable' and fierce warriors, besides 500 fighting men. But he was defeated although he had bribed one of Datoh Klana Sendeng's men with $3,000 to burn the granaries and blow up a powder magazine. Raja Brayun then retired to Recko, a village on the Langat river a short distance upstream from Kajang, and invited Raja Abdulsamad to live with him. He built a stockade at Recko and had a large force of fighting men who lived by robbery and raiding Sakais to sell them into slavery.”
Mandailings as well as Rawas raided Orang Asli and sold them into slavery. This is not to say that historically all Mandailings and Rawas were a party to this. Other Mandailings were also noted in British records as having employed Orang Asli.“
(Sumber: Abdur-Razzaq Lubis dll @ mandailing.org, 2004-2006: |"The Rawa War of 1848").
“Namun pada tahun 1853, istana Selangor digemparkan dengan kemangkatan mengejut ketiga-tiga putera sultan yang sedang berselisihan faham mengenai takhta diraja Selangor tanpa diketahui sebab-musababnya. Namun begitu tidak lama selepas itu sebuah angkatan tentera Bugis Selangor telah diarahkan menangkap anak saudara Sultan Muhammad Shah yang bernama Raja Abdul Samad yang juga merupakan menantunya setelah Raja Abdul Samad dikahwinkan dengan puteri baginda yang bernama Raja Aftah. Raja Abdul Samad pada masa itu tinggal di Langat bersama dengan bapanya Raja Abdullah bin Sultan Ibrahim Shah yang diberikan hak untuk menjaga dan mengutip cukai di sana. Apabila mendapat tahu dirinya diburu, Raja Abdul Samad pun meninggalkan Langat dan berlindung kepada Jabarayun di Kampung Reko. - The Sunday Times, 2 Dec 1934.
Apabila mendapat tahu Raja Abdul Samad sedang berlindung dengan Jabarayun di Ulu Sungai Langat, Sultan Muhammad Shah memberi amaran dan memerintahkan Jabarayun agar jangan campur tangan dengan memberi perlindungan kepada Raja Abdul Samad. Tetapi Jabarayun langsung tidak mengendahkannya. Lantaran itu Sultan Muhammad Shah pun mengarahkan angkatan tentera Bugis supaya bersiap-sedia dengan 500 perahu perang di Kelang untuk menyerang Jabarayun di Kampung Reko.
‘Recko was located in Selangor on the Langat River, but within a few miles of the Sungei Ujong border.’ (121) – Burns (The Journal of J.W.W. Birch)
Apabila mendapat tahu angkatan tentera Bugis Selangor sedang dalam perjalanan untuk menyerang Kampung Reko, Jabarayun bersiap-sedia dengan 300 pengikutnya yang bersenjatakan kapak dan beliung. Jabarayun dan panglima-panglimanya merancang untuk menebang pokok-pokok tinggi di tengah hutan untuk merentangi Sungai Langat dan menghalang kemaraan perahu-perahu angkatan tentera Bugis. Dengan cara itu orang-orang Jabarayun boleh meluru untuk membunuh tentera-tentera Bugis yang terperangkap di tengah-tengah sungai itu.
Rombongan tentera Bugis itu bertolak dari Kelang dan memudiki Sungai Langat sehingga sampai dekat Kampung Dengkil sebelum berpatah balik ke Kelang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Akhirnya tiada serangan yang berlaku. Sejak itulah nama Jabarayun menjadi terkenal dan berpengaruh serta sangat ditakuti oleh pembesar-pembesar Bugis Selangor.”
(Sumber: Mohamed Azli bin Mohamed Azizi @ Lembaga Adat Mandailing Malaysia (LAMA): |"Kuala Lumpur Siapa Punya?").
“Kuasa dan wibawa Raja Borayun makin terkonsolidasi setelah beliau berhasil memukul mundur angkatan yang bakal menyerangnya di “Recko” tanpa tempur berkuah darah. Awalnya Raja Borayun dimurkai Sultan Muhammad sebab menjalin persahabatan yang akrab dengan Abdul Samad, keponakan dan menantu Sultan. Lantaran tidak menghiraukan kemurkaan Sultan, beliau menghadapi serangan angkatan Istana Selangor yang kiranya akan menghabisinya sama sekali.
Angkatan istana sejumlah 500 buah perahu digalang di Kajang. Raja Borayun yang berada di “Recko” akan diserang dari sungai. Mujurlah Strategi Raja Borayun berhasil mematahkan serangan yang berbahaya dan mematikan itu.Kombatan Mandailing yang heroik sejumlah 300 orang menebang pohon kayu dan merintangkannya di tengah sungai. Apabila perahu yang membawa angkatan penyerang terbentur di tengah sungai, mereka akan diamuki dan dibantai semuanya. Menyadari peristiwa pembantaian berkuah darah yang bakal menimpa, para penyerang puntang-panting mendayung perahu kembali ke Kajang.”
(Sumber: Haji Hanafiah Kamal Bahrin Lubis, 23 Ogos 2014: |"HORAS ! SEPUTAR DAN BERPUTAR-PUTAR DI JALAN RAJA ALANG,KAJANG,SEL.").
Peristiwa serangan Sultan Muhammad terhadap Raja Brayun di Rekoh, menurut anak beliau, Raja Alang (melalui wawancara dan tulisan J.C. Pasqual): “When Sultan Mahomad heard that Abdulsamad was living with Raja Brayun he sent a warning to Raja Brayun not to shelter Abdulsamad or have anything to do with him. As Raja Brayun paid no heed to his warning, the Sultan fitted up an expedition of 500 prahus from Kajang to attack Recko, and everybody warned Raja Brayun to be on his guard. On his part, Raja Brayun got together 300 men with axes and bliongs with orders to fell the forest across the river on hearing the report of a gun, and to run amuck and massacre Sultan Mahomad's men if they attempted to cut through the blockade. Nothing happened as the expedition returned to Kajang.” (The Straits Times, 11 November 1934, Page 21: |"WHEN COCKFIGHTING WAS THE RAGE").
“Pada tahun 1855, satu lagi pergaduhan besar telah berlaku di Kampung Reko. Menurut ceritanya, berpuluh-puluh orang putih dari Amerika telah membawa 60 hamba abdi berbangsa Negro muncul secara tiba-tiba di Kampung Reko dan memulakan aktiviti perlombongan bijih timah di Sungai Tangkas. Jabarayun sebagai ketua lanun di Kampung Reko merasa tercabar dengan kehadiran tetamu yang tidak diundang itu yang memulakan aktiviti perlombongan tanpa meminta izin dari pembesar-pembesar tempatan.
Tanpa menunggu lama, Jabarayun membawa 300 pengikutnya yang bersenjatakan kapak dan beliung menyerang rombongan dari Amerika itu. Apabila diserang oleh Jabarayun dan pengikutnya, orang-orang Amerika itu segera melarikan diri menaiki sampan dari Sungai Tangkas dan hilang entah ke mana. 6 orang Amerika dibunuh dalam serangan ini. Nama gah Jabarayun menjadi semakin terkenal lagi berpengaruh di kalangan pembesar-pembesar Bugis Selangor. (212) – Burns (The Journals of F.A. Swettenham)”
(Sumber: Haji Hanafiah Kamal Bahrin Lubis, 23 Ogos 2014: |"HORAS ! SEPUTAR DAN BERPUTAR-PUTAR DI JALAN RAJA ALANG,KAJANG,SEL.").
Menurut sumber-sumber lain:-
Peranan Raja Brayun dalam pertabalan Sultan Abdul Samad, secara ringkas dan umum: “In the late 1850s, a Mandailing leader, Raja Brayun, had been instrumental in the installation of the Raja Abdus-Samad to the Selangor throne. Skilled in harnessing the river through dam-building, the Mandailings opened up many new tin-mining settlements - Ampang (which means “dam”), Bunus (Kampong Bharu today), Gerongkang, as well as settlements in Ulu Langat and Kajang.” (Abdul-Razzaq Lubis & Khoo Salma Nasution, 2003: |"Raja Bilah and the Mandailings in Perak, 1875-1911", m.s.19).
Latar pertabalan Sultan Abdul Samad, serta peranan Raja Berayun, secara terperinci:-
“Pada akhir tahun 1857, Sultan Muhammad Shah telah sakit tenat. Maka berlakulah kekecohan di kalangan kerabat-kerabat diraja Selangor untuk memilih calon yang layak untuk menggantikan baginda. Orang-orang Inggeris tiba-tiba muncul memujuk Tengku Ampuan Basik agar menabalkan Raja Muda Selangor iaitu Raja Mahmud bin Sultan Muhammad Shah yang pada masa itu berumur lebih kurang 13 tahun itu sebagai Sultan Selangor. Akibat dari hasutan itu, Tengku Ampuan Basik mendesak untuk menabalkan Raja Mahmud sebagai Sultan Selangor yang baru.
Tengku Ampuan Basik juga mahukan Raja Abdullah dilantik sebagai Raja Muda Selangor yang baru dan Raja Abdul Samad sebagai Tengku Panglima Raja yang baru.
‘His mother ruled in his place. While Abdul Samad was made Tengku Panglima Raja.’ (145) – Burns (The Journals of J.W.W. Birch)
‘As early as 12 Jan 1858, Governor Blundell informed the widow of Sultan Muhammad, the Tengku Puan Basik, that he rejoiced at the chiefs’ selection of her son Mahmud.’ (19) – Winstedt 1934.
Malahan Inggeris menawarkan diri untuk menjadi orang tengah jika berlakunya perbalahan di dalam perebutan takhta itu. ‘But if there is a dispute, he is prepared, with the approval of the Governor General of India, to meet the chiefs and settle the succession.’ (19) – Winstedt 1934.
Ramai pembesar dan kerabat diraja termasuklah Raja Jumaat dan Raja Abdullah merasakan Raja Mahmud tidak sesuai dilantik sebagai Sultan Selangor pada masa itu kerana baginda masih terlalu kecil untuk memerintah negeri Selangor. Pada masa yang sama Raja Jumaat mahukan Raja Abdullah dipilih sebagai Pemangku Sultan untuk Raja Mahmud sementara menunggu Raja Mahmud menjadi dewasa. Namun rancangan itu dibantah oleh ramai pembesar lain. Kedudukan mereka yang berasal dari keturunan raja-raja Bugis dari Riau dan bukan dari keturunan raja-raja Bugis di Selangor menghalang Raja Jumaat dan Raja Abdullah dari dilantik sebagai Pemangku Sultan Selangor atau Raja Muda Selangor mahupun Tengku Panglima Raja.
Sementara itu abang kepada Raja Mahmud daripada Tengku Ampuan Basik yang bernama Engku Rahmat @ Raja Rahmat @ Raja Laut Selangor juga mahu dirinya ditabalkan namun begitu hakikat bahawa Engku Rahmat merupakan seorang anak luar nikah menyebabkan beliau dianggap tidak layak untuk mewarisi takhta kesultanan Selangor.
Apabila menyedari peluang untuk merebut salah satu gelaran besar di negeri Selangor adalah terlalu tipis, Raja Jumaat dan Raja Abdullah mengambil keputusan untuk melobi Raja Abdul Samad untuk ditabalkan sebagai Pemangku Sultan Selangor. Ini ialah kerana mereka mempunyai motif sendiri untuk merombak dasar dan polisi pemerintahan negeri Selangor khususnya dasar kutipan cukai pembesar-pembesar yang diberikan kepada perbendaharaan negeri serta sara gaji yang diberikan kepada anak-anak raja dan pembesar-pembesar di negeri Selangor.
Perkara ini ada disebutkan oleh S.M. Middlebrook dan J.M. Gullick seperti berikut;
‘For some reason Raja Jumaat supported the claims of Raja Abdul Samad, probably because he thought that he could dictate policy through him even if he could not occupy the throne. Raja Abdullah, voted with his brother, and in the end they had their way.’ (24)
Pada masa inilah Raja Abdul Samad dikatakan datang menziarahi Sultan Muhammad Shah yang sakit tenat bersama-sama dengan iparnya Raja Berkat @ Raja Mat Saman dan Jabarayun. Raja Berkat dan Jabarayun telah bersumpah dan mendesak Sultan Muhammad Shah untuk menabalkan Raja Abdul Samad sebagai Sultan Selangor yang seterusnya. Pada masa itu Raja Berkat dan Jabarayun adalah ketua-ketua yang sangat berpengaruh lagi digeruni di Selangor. – Mingguan Malaysia, 2 Mac 1980.
Maka Sultan Muhammad Shah mangkat. Pertelagahan berlaku dan berlarutan selama hampir 3 tahun di mana Raja Jumaat, Raja Abdullah, Raja Berkat dan Jabarayun telah berusaha bermati-matian untuk melobi Raja Abdul Samad.”
(Sumber: Mohamed Azli bin Mohamed Azizi @ Lembaga Adat Mandailing Malaysia (LAMA): |"Kuala Lumpur Siapa Punya?").
Menurut Abdullah Hukum, antara tokoh awal sekitar Kuala Lumpur: “Kira-kira pada tahun 1858 ada seorang bernama Raja Bugis orang Mendahiling tinggal di Kajang. Ada seorang lain orang Mendahiling juga bernam Raja Mengampang tinggal di Hulu Langat. Raja Mengampang ada mempunyai lampan di Hulu Langat dengan kebenaran Yang Maha Mulia Sultan Abdul Samad menurut peribahasa zaman itu sudah dapat cap namanya. Kemudian Raja Bugis yang di Kajang itu hendak membuka lampan pula di sebelah Hulu Sungai Langat tetapi dibantah keras oleh Raja Mengampang. Menurut adat zaman berkeris dahulu ketika itu wajib dihunus senjata. Maka Raja Bugis pun dengan segera mendirikan sebuah kubu, iaitu pada suatu tempat dekat Batu 13 sekarang. Manakala Raja Mengampang turut mendirikan sebuah kubu pula di lampan itu, iaitu di Masjid Hulu Langat sekarang. Pergaduhan itu lebih hebat bunyinya kerana bukan sahaja bersenjata keris dan tombak tetapi ada pakai meriam senapang dan pemuras. Tiga bulan lamanya sama-sama berkeras hingga banyak yang mati antara kedua-dua belah pihaknya dan seorang daripada kepala perang Raja Bugis kena parah. Pergaduhan itu akan menjadi lebih dahsyat jika tidak kerana Raja Berayun seorang Mendahiling juga datang dari Kajang. Adapun Raja Berayun tersebut ialah ayahanda Raja Alang yang terkenal di Selangor dengan kayanya dan dialah yang mewakafkan sebuah masjid di Beranang berharga lebih daripada $30,000 siap kira-kira tujuh lapan tahun dahulu. Raja Berayun telah mengorbankan dirinya menjadi orang tengah memadamkan pergaduhan itu. Keputusannya ialah bahawa tanah lampan itu dipulangkan kepada Raja Mengampang dan pergaduhan itu pun padam.”
(Sumber: Abdullah Hukum @ Warta Ahad, 1935; Adnan Haji Nawang, 1997: |"Kuala Lumpur Dari Perspektif Haji Abdullah Hukum: Bab 1: Riwayat Kuala Lumpur 24 Tahun Sebelum Pernaungan British", m.s.19).
Menurut sumber lain: “Dalam pada itu pada tahun 1858, satu pergaduhan besar telah berlaku di Kampung Ulu Langat Batu 13 di antara 2 orang Mandailing yang berpengaruh yang bernama Jabugis dan Jamangampang. Pergaduhan itu berpunca dari perebutan lombong bijih timah di sana. Maka masing-masing pun mempersiapkan pasukan perang dengan kubunya sekali. Maka tercetuslah satu pertempuran yang sengit yang membabitkan senjata seperti meriam dan senapang. Pertempuran itu berlanjutan selama 3 bulan. Pertempuran itu pasti berlarutan jika tidak kerana campurtangan Jabarayun dan pengikut-pengikutnya dari Kampung Reko. Jabarayun telah bertindak menjadi orang tengah dan meleraikan pergaduhan tersebut. Ini ialah kerana Jabarayun sendiri bimbangkan keselamatan keluarganya di Ulu Langat. Maka peperangan 3 bulan itu tamat. Berita tentang kejayaan Jabarayun memadamkan pertempuran yang telah berlangsung 3 bulan itu telah tersebar luas ke seluruh Selangor dan sampai ke telinga pembesar-pembesar Selangor pada masa itu. Maka bertambah kuatlah pengaruh Jabarayun di Selangor ketika itu.” (Mohamed Azli bin Mohamed Azizi @ Lembaga Adat Mandailing Malaysia (LAMA): |"Kuala Lumpur Siapa Punya?").
“Tersebut kisah Raja Layang orang Minangkabau yang lari itu rupanya sampai di Sungai Ujong mendapatkan Tuan Syeikh Muhammad Taib, Tuan Syeikh Muhammad Ali dan Haji Muhammad Salleh Penghulu Rawang dahulu. Dia dapat ikhtiar di sana sehingga banyak pula pengikutnya. Dia pun berangkat dengan beratus-ratus orang rakyatnya sampai di sebelah hilir Kajang lalu membuat kubu di situ hendak melanggar Kajang. Perkhabaran itu kedengaran kepada Raja Berayun lalu diberinya tahu Raja Mahmud di Kuala Lumpur. Mendengar perkhabaran itu Raja Mahmud pun berangkat ke Kajang dengan segala pahlawannya dan saya pun sama mengiring. Tetapi Raja Layang telah lari malam apabila mendengar yang Raja Mahmud telah sampai di Kajang. Raja Mahmud sangat murka kepada Raja Layang. Ada khabar mengatakan Raja Layang lari ke Rekoh dan meskipun banyak orang memberi nasihat jangan turut Raja Layang tetapi Raja Mahmud berkeas jua katanya ada saudaranya di Rekoh. Pendeknya Raja Mahmud akhirnya tiba di Rekoh. Kata Tuan Haji Abdullah Hukm - di Rekoh dia melihat peri ganasnya tangan Raja Mahmud - Raja Mahmud bertemu dengan seorang Minangkabau yang nampaknya tiada ambil endah kepadanya. Ditanya oleh Raja Mahmud seperti berikut:-
Raja Mahmud: awak orang mana?
Jawabnya: saya orang Minangkabau!
Raja Mahmud: siapa ketuaan awak?
Jawabnya: Raja Layang!
Itulah dua patah soal jawab sahaja orang itu pun ditikam oleh Raja Mahmud sama sekali sahaja mati di situ jua. Raja Mahmud terus ke pekan Rekoh. Dia pun bertanya kepada seorang Kerinchi bernama Haji Muhammad Salleh di mana Haji Abdul Samad orang Minangkabau. Setelah diketahuinya daripada orang Kerinchi ini di mana Haji Abdul Samad maka Raja Mahmud pun pergi mendapatkan Haji Abdul Samad. Apabila bertemu lalu ditanya pula seperti berikut:
Raja Mahmud: siapa ketuaan Pak Haji?
Jawabnya: Tuankulah!
Mendengar itu Haji Abdul Samad pun dipeluk oleh Raja Mahmud dengan sukacitanya kerana niatnya hendak membunuh Pak Haji itu jika dia mengatakan berketuaan kepada Raja Layang. Di situlah Raja Mahmud mengeluarkan wang sepuluh ringgit belanja menanam orang yang ditikamnya tadi. Kemudian daripada itu maka Raja Mahmud pun berangkat balik ke Kuala Lumpur.”
(Sumber: Abdullah Hukum @ Warta Ahad, 1935; Adnan Haji Nawang, 1997: |"Kuala Lumpur Dari Perspektif Haji Abdullah Hukum: Bab 1: Riwayat Kuala Lumpur 24 Tahun Sebelum Pernaungan British", m.s.26-29).
“Akhirnya pada tahun 1859, Raja Abdul Samad bin Raja Abdullah telah ditabalkan oleh pembesar-pembesar Bugis Selangor sebagai Pemangku Sultan Selangor untuk menggantikan almarhum Sultan Muhammad Shah yang mangkat pada tahun 1857. Baginda akan memangku jawatan tersebut sehingga Raja Muda Mahmud dewasa dan bersedia menaiki takhta. Ternyata pembesar-pembesar Bugis Selangor terpaksa tunduk kepada kemahuan dan desakan beberapa ketua yang sangat berpengaruh lagi berkuasa di Selangor pada ketika itu. Ini bermakna apabila Raja Muda Mahmud dewasa kelak, Raja Abdul Samad mestilah turun takhta dan menyerahkan kembali takhta tersebut kepada Raja Muda Mahmud.
…
Namun begitu, sebaik sahaja Raja Abdul Samad ditabalkan sebagai Pemangku Sultan Selangor, baginda mengangkat putera baginda yang bernama Raja Musa sebagai Raja Muda Selangor yang baru dan melantik Raja Berkat sebagai Tengku Panglima Raja yang baru. Pada masa yang sama baginda mengekalkan Raja Abdullah sebagai Penguasa Kelang.
Putera-putera Sultan Muhammad Shah yang lain iaitu Engku Rahmat dan Raja Mahmud tidak berani membantah disebabkan rasa takut mereka kepada panglima peribadi Raja Abdul Samad iaitu Jabarayun yang dianggap sebagai pahlawan yang gagah perkasa, garang, berkuasa lagi berpengaruh pada masa itu. Malahan ramai lagi kerabat diraja Selangor seperti Raja Hitam di Bernam, Raja Ali di Jeram dan Raja Mahadi di Kelang yang tidak menyetujui pelantikan Raja Abdul Samad itu.
Ketidakpuashati di kalangan sesetengah Orang Besar dan kerabat-kerabat diraja Selangor ini telah menimbulkan kerisauan dan perasaan cemas Raja Abdul Samad. ‘He always expecting that one or other of them would seize the opportunity of stabbing him. Obviously he felt safer on his home ground and so he lived at Kuala Langat, leaving Klang in the charge of Raja Abdullah.’ (3) – Gullick 1955.
Lantaran itu baginda mengambil keputusan untuk pulang ke bandar Langat yang juga dikenali sebagai bandar Termasa (bandar Temasha atau bandar Jugra). Sebelum itu, Raja Abdul Samad pernah tinggal di bandar Langat bersama dengan bapanya Raja Abdullah yang diberikan hak untuk menjaga dan mengutip cukai di sana. Kebimbangan ini berasas kerana sememangnya ada cubaan untuk membunuh baginda. (3) – Gullick 1955.
Maka tidak hairanlah selepas itu baginda melantik Jabarayun sebagai Panglima Jugra yang merupakan pengawal, pengiring dan panglima peribadi Sultan Selangor. Jawatan panglima peribadi Sultan Selangor bukan bermakna Jabarayun hanya menjadi pengawal peribadi, malahan Jabarayun juga bertanggungjawab dalam urusan-urusan pentadbiran.
‘A panglima could mean a subordinate commander or a personal bodyguard; the same man performed both roles on occasion.’ (155) – Gullick 1955.
Apabila Jabarayun menerima tawaran Raja Abdul Samad untuk menjadi panglima peribadi Sultan Selangor, dia terpaksa berpindah ke bandar Termasa untuk menjalankan tugas barunya. Lantaran itu Jabarayun, Panglima Si Gara dan sebahagian pengikut-pengikut mereka berhijrah dari Kampung Reko ke bandar Termasa dan membuka sebuah kampung yang menjadi penempatan baru mereka yang dinamakan Kampung Bukit Jugra. Namun begitu masih terdapat kaum-kerabat Jabarayun yang tinggal di Reko.
Manakala salah seorang orang kanan Jabarayun yang bernama Panglima Garang Sutan Janaga telah dilantik sebagai salah seorang pembesar Kelang yang bergelar Dato Naga yang menjadi ketua di Kampung Bukit Naga. Panglima Garang Sutan Janaga juga berpindah ke Kelang.”
(Sumber: Mohamed Azli bin Mohamed Azizi @ Lembaga Adat Mandailing Malaysia (LAMA): |"Kuala Lumpur Siapa Punya?").
Kediaman Sultan Abdul Samad di Kuala Langat, 1875: “Sultan Abdul Samad's residence in Kuala Langat taken in 1875.” (Alan Teh Leam Seng @ New Straits Times, December 16, 2018: |"Let's learn more about one of Selangor's greatest rulers, Sultan Abdul Samad").
Menurut Prof. Emeritus Khoo Kay Kim (melalui NST/Heritage), Sultan Muhammad melantik Raja Abdul Samad sebelum mangkat pada tahun 1857: “Raja Borayun bertindak dengan cepat dan tegas mengatasi soal suksesi tahta Negeri Selangor. Beliau dan Tuanku Panglima Raja, yang dikenali juga sebagai Raja Berkat Rhio, berziarah kepada Sultan. Di sisi pembaringan baginda, diminum mereka “ayer sumpah” dan dilantik Abdul Samad ,sahabat akrab Raja Borayun untuk bersemayam di tahta (menurut Prof. Emeritus Khoo Kay Kim, keturunan Sultan Abdul Samad masih bersemayam sampai kini semenjak tahun 1857 - NST/Heritage: 30/06/2003).” (Haji Hanafiah Kamal Bahrin Lubis, 23 Ogos 2014: |"HORAS ! SEPUTAR DAN BERPUTAR-PUTAR DI JALAN RAJA ALANG,KAJANG,SEL.").
Ini mungkin berdasarkan pengkisahan Raja Alang, anak Raja Brayun (melalui wawancara dan tulisan J.C. Pasqual), serta kecenderungan J.C. Pasqual terhadapnya: ”'… When Sultan Mahomad was dying, Abdulsamad, Raja Brayun and Tunku Panglima Raja, also known as Raja Berkat Rhio, went to his bedside and Raja Brayun and Raja Berkat Rhio drank the 'ayer sumpah' (water of fealty) and appointed Abdulsamad Sultan of Selangor.' The universally accepted version of the succession was that Abdulsamad was appointed Regent to Raja Mahmud, the younger of the two infant sons of the late Sultan - the elder brother, Raja Laut, being illegitimate - and usurped the throne for himself: but I prefer to believe Raja Allang's version that Sultan Abdulsamad succeeded to the throne immediately on the death of Sultan Mahomad. Otherwise his remains could not have been buried. Besides, he had the backing of Raja Brayun, probably the most powerful chief of the time, and none of the adherents of Sultan Mahomad's heir would have dared to oppose him.“ (The Straits Times, 11 November 1934, Page 21: |"WHEN COCKFIGHTING WAS THE RAGE").
“JABARAYUN KETUA LANUN ‘Di samping menjadi panglima, beliau juga sering dipinjam atau diupah oleh raja yang tertentu di Sumatera dan Semenanjung untuk menolong melawan musuh-musuh tertentu. Biasanya waktu menjalankan tugas yang diupah itu, Raja Berayun dengan angkatan perangnya akan merompak segala kapal-kapal di laut. Maka dengan sebab itulah beliau dianggap sebagai seorang ketua lanun yang sangat ditakuti.’ – Mingguan Malaysia, 2 Mac 1980.
Setelah berpindah ke tempat barunya di bandar Termasa, Jabarayun dan pengikut-pengikutnya telah kehilangan pendapatan lumayan dalam aktiviti perniagaan hamba-abdi dan tidak lagi berkesempatan untuk melakukan kegiatan menangkap orang-orang asli di Ulu Langat untuk dijual sebagai hamba di Melaka. Lantaran itu Jabarayun dan pengikut-pengikutnya kembali menjalankan kegiatan melanun kapal-kapal perdagangan di Selat Melaka.
‘… Raja Berayun yang mashur dengan gagah beraninya telah mendiami di Pulau Lumut.’ – Mingguan Malaysia, 2 Mac 1980.
Jabarayun telah menjadikan Pulau Lumut di Selangor sebagai pengkalan operasi lanunnya dan Labuhanbilik sebagai pengkalan persinggahannya. Di sana beliau dibantu oleh rakan-rakannya yang setia yang juga merupakan pahlawan-pahlawan sakti dan pendekar terkenal di Tanah Mandailing iaitu Panglima Garang Sutan Janaga di Kelang dan Panglima Si Gara.
Operasi melanun kapal-kapal perdagangan di Selat Melaka ini telah dirancang dengan baik dan rapi. Di penempatan mereka di Kampung Bukit Jugra, mereka telah membina beberapa terowong rahsia yang membolehkan mereka keluar masuk ke laut menerusi sebuah kebun durian di berhampiran dengan halaman istana Raja Abdul Samad, menembusi Bukit Jugra dan keluar ke satu tempat yang dinamakan Batu Hampar di tepi Sungai Langat. Dari terowong itu, mereka bergerak dan melanun di tengah laut.
Jika mereka diburu, Jabarayun dan pasukan lanunnya akan menyorokkan kapal mereka di celah-celah semak di Sungai Langat lalu melarikan diri dan bersembunyi di terowong rahsia itu. Jika musuh yang datang itu adalah pasukan yang kuat dan besar, Jabarayun dan pengikut-pengikutnya akan melarikan diri menerusi terowong dan terus pulang ke Kampung Bukit Jugra dengan pantas sekali. Di sana, mereka akan berpura-pura seperti sedang melakukan aktiviti harian mereka seperti menjahit jala, bertani dan sebagainya.
Untuk sampai ke perkampungan Jabarayun dan orang-orangnya di Kampung Bukit Jugra, pihak musuh yang memburu mereka terpaksa melalui kawasan larangan istana Raja Abdul Samad. Maka sudah pasti pihak musuh akan dihalang dan diperiksa oleh pihak Raja Abdul Samad yang tidak mengetahui apa-apa yang berlaku. Malah orang-orang Jabarayun pula apabila diperiksa, mereka kelihatan sedang melakukan aktiviti harian mereka.
Walaupun Raja Abdul Samad tahu akan perkara sebenar yang berlaku, namun baginda berpura-pura tidak tahu dan tidak mengambil sebarang tindakan ke atas Jabarayun dan pengikut-pengikutnya disebabkan baginda terlalu kasih terhadap Jabarayun yang merupakan pengawal, pengiring dan panglima peribadi Sultan Selangor yang sangat setia. Malahan baginda juga menganggap Jabarayun itu sebagai gurunya di dalam banyak aspek kehidupan khususnya di dalam ilmu pengetahuan mengenai perkara-perkara yang bersangkutan dengan ilmu-ilmu kebatinan.
‘…the notoriety of the Langat pirates.’ (116) – Burns (The Journals of F.A. Swettenham)
Jika musuh yang datang itu adalah pasukan yang kecil, Jabarayun dan pengikut-pengikutnya akan bersembunyi di terowong rahsia mereka sehinggalah pihak musuh terperangkap di kawasan Batu Hampar yang dikatakan merupakan sebuah perangkap ghaib. Dikatakan mana-mana musuh yang termasuk di kawasan perangkap ghaib Batu Hampar itu, maka musuh itu tidak akan dapat mencari jalan keluar dari kawasan Batu Hampar itu. Maka ketika itulah Jabarayun dan orang-orangnya akan menyerang dan membunuh pihak musuh yang masih terpinga-pinga.
Sesekali Jabarayun dan kumpulan lanunnya juga menerima tawaran penjajah Belanda untuk menjadi tentera upahan Belanda dalam usaha membasmi dan membenteras pasukan gerila Padri yang bergerak aktif di Tanah Besar Sumatera.
Manakala Panglima Garang Sutan Janaga walaupun dilantik sebagai salah seorang pembesar Selangor yang bergelar Dato Naga, beliau masih aktif menyertai kegiatan melanun bersama Jabarayun. Setiap kali Jabarayun hendak melakukan kegiatan mereka, maka Panglima Garang Sutan Janaga akan datang ke Kampung Bukit Jugra untuk menyertai mereka. Sesudah mereka selesai melakukan aktiviti tersebut, maka Panglima Garang Sutan Janaga pun pulang ke Kelang.
JABARAYUN JUGA MEMBENTERAS LANUN-LANUN LAIN ‘… seorang anak raja Mandailing yang digelar Raja Berayun yang mashur dengan gagah beraninya …’ – Mingguan Malaysia, 2 Mac 1980.
Pada masa itu berlaku keganasan-keganasan yang dilakukan oleh lanun-lanun yang datang dari Pulau Sumatera dan Riau. Kebanyakan lanun-lanun ini mempunyai kumpulan sendiri yang berasaskan keturunan dan puak masing-masing seperti kumpulan lanun dari Bugis, Siak, Sasak, Riau, Melayu Batu Bara, Mandailing dan Minangkabau. Kebanyakan kumpulan lanun-lanun ini bersarang di pulau-pulau kecil yang terdapat di persisiran pantai Tanah Besar Sumatera yang menghadap ke Tanah Melayu.
Apabila keganasan lanun itu merebak berleluasa ke Kuala Langat dekat bandar Termasa yang kini merupakan pusat pemerintahan negeri Selangor, Raja Abdul Samad merasa sangat cemas. Baginda mengarahkan Jabarayun yang bergelar Panglima Jugra untuk menghapuskan lanun-lanun tersebut. Maka dengan bangganya Jabarayun membawa angkatan lanun beliau untuk memburu kumpulan-kumpulan lanun tersebut.
Sebagai seorang ketua lanun yang sangat terkenal lagi dihormati, Jabarayun menganggap tugasnya itu sangatlah mudah. Tambahan pula beliau tahu semua selok-belok kumpulan lanun yang terbabit. Dengan itu mudahlah bagi beliau menewaskan mereka dan mengusir lanun-lanun tersebut keluar dari perairan Selangor. Kemampuan Jabarayun untuk mengawal pantai dan perairan Selangor ini telah menjulang nama beliau di kalangan pembesar-pembesar Bugis di Istana Selangor.”
“Gambar 18 - Batu asah pedang Jabarayun yang masih tersimpan dengan baik”
(Sumber: Mohamed Azli bin Mohamed Azizi @ Lembaga Adat Mandailing Malaysia (LAMA): |"Kuala Lumpur Siapa Punya?").
“Setelah Raja Mahmud bin Sultan Muhammad Shah menjadi dewasa, baginda menyatakan kesediaannya mengambilalih takhta kesultanan Selangor. Tetapi Raja Abdul Samad sebagai Pemangku Sultan Selangor pada masa itu tidak mahu turun dari takhta bahkan berkeras untuk terus memegang pucuk pemerintahan negeri Selangor. Oleh kerana ramai pembesar Selangor dan ketua-ketua Melayu yang berpengaruh menyokong Raja Abdul Samad khususnya Raja Jumaat bin Raja Jaafar, Raja Abdullah bin Raja Jaafar, Raja Berkat @ Raja Mat Saman dan Jabarayun, akhirnya pembesar-pembesar Bugis Selangor yang lain terpaksa tunduk kepada kemahuan Raja Abdul Samad untuk terus berkuasa di Selangor. Maka pada akhir tahun 1863, Raja Abdul Samad ditabalkan sebagai Sultan Selangor dengan gelaran Sultan Abdul Samad. Maka terpaksalah Raja Mahmud mendiamkan diri dan memendam perasaan tidak puas hati baginda. Beliau kemudiannya diangkat menjadi Waris Negeri dan akhirnya dilantik sebagai Penghulu di Kampung Semenyih. (145) – Burns (The Journals of J.W.W. Birch)
‘About four or five years later, Abdul Samad, over the objections of the headmen, made himself Sultan.’ (145) – Burns (The Journals of J.W.W. Birch)
‘Raja Abdul Samad had seized the throne.’ (19) – Winstedt 1934.
‘Dengan sokongan kuat dari beberapa golongan tertentu yang berpengaruh, maka menantu Sultan Muhammad iaitu Sultan Abdul Samad telah dilantik sebagai Sultan Selangor. Nampaknya Raja Muda Mahmud yang sebenar layak mengambilalih pemerintahan Selangor itu telah diketepikan begitu sahaja. Ini menyebabkan ramai pula orang-orang besar dan kerabat-kerabat diraja yang tidak puas hati di atas lantikan Raja Abdul Samad menantu Sultan Muhammad itu’ – Mingguan Malaysia, 2 Mac 1980.”
(Sumber: Mohamed Azli bin Mohamed Azizi @ Lembaga Adat Mandailing Malaysia (LAMA): |"Kuala Lumpur Siapa Punya?").
“Apabila Perang Selangor/“Kolang” (1867-1873) berakhir,gabungan angkatan Raja Mahadi dan raja raja Mandailing seperti Raja Asal, Raja Bilah, Sutan Puasa diusir dari Selangor atas perintah Sultan Abdul Samad yang mendapat bantuan padu daripada golongan feodalis Melayu,kapitalis Cina dan imperialis Inggeris yang menjadi dalang. Orang Mandailing dianggap persona non grata di Selangor. Mereka mesti dihapuskan atau dilikwidasi dan harta benda mereka disita. Tugas itu diserahkan kepada Tengku Kudin, putera raja dari Kedah yang mendapat bantuan daripada pihak yang akhirnya memusuhi orang Mandailing seperti orang Melayu Kedah, orang Melayu Pahang, orang Minangkabau dan Yap Ah Loy.
Orang Mandailing mengungsi lagi seperti waktu Perang Padri di Sumatra dahulu. Mereka menjadi orang buruan di Selangor dan berkemungkinan berdepan dengan bahaya genosida . Justru, mereka “went underground”. Identitas etnik mereka seperti nama sebagai orang Mandailing, nama marga, simbol yang amat penting buat mereka dan bahasa dipendam sebab takut dicap sebagai “orang dagang” yang sekaligus musuh.
Tidak tahu pasti apakah Raja Borayun ikut dipandang serong oleh bangsawan Selangor ataupun tidak. Tentunya beliau ikut terlibat, seperti “namora” yang lain, dalam Perang Selangor. Tetapi Sultan Abdul Samad ternyata masih menyimpan perasaan silaturahmi terhadap Raja Borayun. Beliau meninggal dunia barangkali setelah perang berakhir dan pada mulanya dimakamkan di Bukit Malawati.Kemudian makamnya dipindahkan ke Jugra. ”
(Sumber: Haji Hanafiah Kamal Bahrin Lubis, 23 Ogos 2014: |"HORAS ! SEPUTAR DAN BERPUTAR-PUTAR DI JALAN RAJA ALANG,KAJANG,SEL.").
Gambar-gambar dari koleksi Abdul Halim Nasir (mungkin perbandingan gambar lama dan baru): “Makam Raja Berayun, Dusun Durian(?)” (N.A Halim, 1960an-1990an @ Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia: |"Koleksi N.A Halim: Menghimpunkan koleksi peribadi N. A. Halim mengenai daftar kata, buku, gambar dan video mengenai senibina rumah Melayu, masjid batu nisan, dan peta lama.").
Gambar-gambar dari koleksi Abdul Halim Nasir: “Makam Raja Berayun, Dusun Durian(?)”, “Makam di Bukit Jugra” (N.A Halim, 1960an-1990an @ Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia: |"Link 1", |"Link 2").
LATAR JURUGAMBAR: Abdul Halim Nasir (N.A Halim, 1938-1999)
Kiri: “Dalam kawasan hutan di kaki Bukit Jugra terdapat makam-makam ini.”
Kanan: “Makam utama milik seseorang yang dikenali sebagai Raja Berayun.”
“Menurut cerita nama sebenar Raja Berayun ialah Raja Ibrahim. Beliau adalah seorang panglima perang yang rapat dengan Sultan ke 4 Selangor Sultan Abdul Samad dan pernah memerintah Kajang.”
Kiri: “Di sebelahnya pula adalah makam isteri…”
Kanan: “Di sebelah ini katanya adalah makam salah seorang pengikutnya. Saya difahamkan di sekitar ini juga terdapat makam beberapa orang panglima…”
(Sumber: Radzi Sapiee @ SENI LAMA MELAYU (MALAY OLDEN ART), 8 Jun 2010: |"Makam (Tomb of) Raja Berayun").
“makam Raja Berayun di Bukit Jugra” (Aku Budak Telok, 2 Mei 2014: |"Asal Usul TPG 2: Siapa sebenarnya Panglima Garang?").
CATATAN: Lokasi makam ini pernah dilibatkan dalam suatu kes ajaran sesat pada tahun 2004: “Thirteen “supernatural” graves on a plot of land in Kampung Permatang Pasir, Bukit Jugra, here, were destroyed yesterday in efforts to put an end to deviationist Islamic teaching in the area. Erected on reserve land belonging to the Selangor government, the graves were empty with one major gravestone covered by a tent of yellow cloth. Known as “Makam di Raja Berayun” or “Wak Kantong”, the site has been so popular with local and outstation visitors seeking four-digit numbers, cures for various ailments and the fulfilment of wishes in the past year that worshippers even have to get queue numbers. ” (The Star, Friday, 10 Sep 2004: |"Thirteen 'supernatural' graves destroyed").
“Raja Borayun meninggalkan seorang putera, Raja Alang yang menetap di Kajang sebelum pindah mendirikan kediaman baru di Jalan Raja Laut, Kuala Lumpur. Beliau dianugerahi tanah yang luas di Kuala Langat dan Hulu Langat oleh Sultan Abdul Samad sebagai mengenang jasa Raja Brayun, ayahandanya (UM S2 07/04/2012). Dengan demikian beliau menjadi orang Mandailing/Melayu yang terkaya seantero Selangor pada waktu itu. Menurut suatu sumber, beliau bertindak sebagai wakil baginda Sultan di Hulu Langat.
Raja Allang mengusahakan tanahnya, terutama yang di Balakong, Cheras, menjadi perkebunan getah yang luas, Raja Alang Estate namanya. Mangkuk getahnya terbuat daripada porselin putih yang bahagian luarnya dicap nama perkebunan yang amat terkenal di Kajang itu. Puluhan karyawan perkebunan itu terdiri daripada berbagai-bagai golongan etnik.
Sebagai dermawan Mandailing yang kuat-taat memegang agama Islam, Raja Allang sering bersadakah dan mewakafkan tanah untuk mesjid seperti yang dilakukannya di Beranang. Mesjid Raja Allang yang dibinanya itu masih berdiri teguh, aseli dan hebat.
Seperti Raja Hj. Muhammad Ya'qub putera Raja Bilah, namora Mandailing di Perak, Raja Allang memberikan perhatian yang besar terhadap riwayat orang Mandailing di belah sini Selat Melaka. Beliau pernah diwawancarai oleh J.C. Pasqual, sejarawan alternatif, yang banyak mencatat mengenai hal-ihwal orang Mandailing di Selangor. Dalam wawancara itu, Raja Allang memberikan input yang banyak mengenai keterlibatan orang Mandailing dalam Perang Rao (1848) di Pahang dan rangkaian peristiwa seputar soal suksesi tahta di Selangor pada tahun 1857.”
(Sumber: Haji Hanafiah Kamal Bahrin Lubis, 23 Ogos 2014: |"HORAS ! SEPUTAR DAN BERPUTAR-PUTAR DI JALAN RAJA ALANG,KAJANG,SEL.").
RENCANA KHAS: Raja Alang bin Raja Berayun
LATAR PERISTIWA: Kajang High School (KHS)
Maklumat lanjut berkaitan asal-usul dan keturunan Raja Berayun:-
Pengakuan penting: Kami bukan ahli sejarah! Sila klik di sini untuk penjelasan lanjut.
Laman Utama | 1900-1909 | 1910-1919 | 1920-1929 | 1930-1939 | 1940-1949 | 1950-1959 | 1960-1969 | 1970-1979 | 1980-1989 | 1990-1999 |
Siri Cebisan Sejarah: | Bangi | Kajang | Kuala Lumpur | Kuantan | Gambang | Ipoh | Hutan | Hubungi Kami |